[Enlightenment Morning]
Mentari pagi sedang cerah. Aku duduk di teras mushola kampus menunggu sobatku, si ustadz panggilannya.
“Ibadah kamu plus plus banget ya bro~! Keren.” Sahutku ketika ia menghampiriku. Ia duduk disampingku mulai memasang sepatunya.
“Puasa sunnah, iya. Sholat dhuha, setiap pagi. Baca Qur’an, apalagi, hampir disetiap waktu luangmu.” Aku mencoba menghitung-hitung amalannya tapi ia hanya menyunggingkan senyum. “Emang amalan wajib aja ga cukup bro?” timpaku lagi.
Ia berhenti sebentar dari kegiatannya dan menatapku dalam penuh teduh. “Ada dua alasan sih bro,” jawabnya sembari kembali mengikat sepatu.
“Pertama, karena kita ga pernah tahu. Kita ga pernah tahu amalan kita yang mana yang mengantarkan kita ke surga. Kita ga pernah tahu apakah amalan kita diterima, solat kita, puasa kita, serta amalan-amalan kita yang lain. Siapa yang bisa menjamin itu semua? Jadi tugas kita ya membuka pintu amalan sebanyak-banyaknya. Karena kita ga pernah tahu. Setidaknya begitulah yang kupahami.”
Aku mengulum senyum, malu, aku bahkan hanya melakukan yang wajib-wajib saja. Ia kemudian berdiri ketika kedua sepatunya telah terikat. “Lalu, lalu, apa alasan kedua?” tanyaku semakin penasaran.
“Yang kedua karena aku ingin bersyukur. Aku telah diberi nikmat tak terkira berupa iman dan islam sejak lahir. Masa iya cuma ngejalanin yang wajib-wajib aja. Ga ada bedanya dong sama aku 10 tahun yang lalu. Bukankah manusia yang beruntung adalah dia yang hari esok lebih baik daripada hari kemarin? Aku malu jika mendapati diriku masih begitu-begitu saja.”
Dadaku rasanya tertohok lagi. Apa yang sudah kulakukan 20 tahun ini? Sungguh aku sangat merugi.
Melihatku terdiam, ia terkekeh kemudian mengulurkan tangannya. “Gimana? Kamu mau sholat Dhuha dulu? Aku tungguin disini yaa~!”
Aku pun tesenyum dan segera mengambil wudhu.